TITIK SINGGUNG WAYANG DAN KERIS
By: Ir. Hayono Haryoguritno
Dunia pewayangan tanpa sastra, karawitan, batik, candi, pertanian, falsafah, kesaktian dan keris tidaklah lengkap; dan juga tidak mungkin
terwujud sebuah pakeliran yang agung. Peranan sastra dan karawitan sudah jelas, sedangkan unsur batiknya dimanifestasikan baik secara wantah maupun tergubah dalam pakaian wayang (wayang orang, golek dan kulit).
Lebih dari pada itu, bentuk manifestasi visuaInya pun masih dilengkapi lagi dengan narasi oleh Ki Dalang yang berupa janturan dan pocapan, antara lain berbunyi : punapa to busana nira Sang Noto ing Ngastina,
dan seterusnya.
Arjuna dikenal sebagai pemakai kain batik berpola Limar Ketanggi, Yudistira dengan Limar Jobin, Kresna dengan Parang Modang, Werkudara dengan Poleng Bang Bintulu, Suyudana dengan Parang Barong, dan seterusnya.
Di dalam hal candi, usaha pemvisualisasian hanya dilakukan dengan memakai gunungan, yang sering dipakai untuk menggambarkan kayu, gunung, laut, mega, gapura, dan lain lainnya. Jadi dalam hal candi, usaha Ki Dalang dititikberatkan pada janturan, pocapan maupun kombangan; dan bahkan sempat pula tercipta lakon ‘mBangun Candhi Saptorenggo’.
Unsur pertanian berkaitan dengan pranata mangsa, ulu wetu, polo kesimpar, polo gumantung, polo kependhem, dan lain-lainnya (Gemah Ripah Loh Jinowi), sudah merupakan keharusan yang mutlak dalam janturan, mengenai kemakmuran sebuah kerajaan atau asrinya sebuah pertapaan, juga seramnya atau ‘angker’nya sebuah hutan belantara, misaInya hutan Setra Ganda Mayit (Dhandhang Mangore).
Tidak ada adegan peperangan atau perkelahian dalam pewayangan yang tidak mengandung atau menampilkan unsur kesaktian. Kita selalu ingat akan Aji Norantaka dari Gatotkaca, Panglimunan-nya Arjuna, Wungkol Bener dari Bima, Panggoblakan dari Anoman, Pancasona-nya Rahwana dan lain-lainnya.
Kesaktian-kesaktian atau aji tersebut di atas termanifestasikan dengan
mantra dan atau olah semedi/raga tertentu.
Orang sakti menjadi kebal, ‘Tinatah mendat jinara menter, ora tedhas tapak paluning pandhe, sisaning gurinda, tilasing kikir’.
Tahan panasnya api, bisa terbang, amblas bumi, menghilang, dan lain sebagainya.
Kadang-kadang malah karena ulah lawan tandingnya sendiri, maka kesaktian tersebut dapat terwujud secara otomatis, misaInya aji Candha Birawa.
Senjata, jimat dan pusaka juga merupakan sumber kesaktian atau supremasi terhadap lawan tanding. Siapa yang tidak mengenal Jamus Kalimasada,
Kembang Wijayakusuma, Cundha Mani, Gada Lukitasari atau Rujakpolo, dan lain sebagainya. Dan apabila kita bicara mengenai falsafah dalam dunia pewayangan, maka sarat dgn filosofi.
Keris Dalam Dunia Pewayangan
Sulit untuk mengatakan, manakah yang lebih beruntung, dunia pewayangan ataukah dunia perkerisan.
Yang jelas, kedua-duanya merupakan puncak kebudayaan nasional, dan tak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.
Sayang, kawruh padhuwungan tidak begitu populer bagi para dalang,
sehingga janturan-janturan mereka mengenai pusaka/keris seringkali
menjadi ‘steril’, dan lebih disayangkan lagi karena tidak adanya usaha
para dalang untuk mencoba menambah pengetahuan dan wawasannya mengenai
keris. Alangkah idealnya apabila aspek-aspek perkerisan dapat
ditampilkan dalam pentas pewayangan, niscaya akan dapat menambah ‘gebyar’ atau ‘dimensi’ pentas itu sendiri.
Untuk mencoba menanggapi ‘kekosongan’ ini, maka tulisan yang tidak konklusif dan kadang-kadang terasa cengkah serta berasal dari berbagai sumber ini disajikan.
Adapun mengenai bagaimana pengejawantahan kawruh
padhuwungan dalam pentas wayang, hal ini sepenuhnya diserahkan kepada
kearifan para dalang sendiri. Berikut ini dapat disebutkan beberapa
petikan tentang hal tersebut, antara lain :
Dalarn sebuah pakem padhuwungon yang ‘nota bene’ merupakan karangan
pujangga tersohor Raden Ngabehi Ranggawarsita dari Surakarta (kira-kira 190 tahun yang Ialu), disebutkan bahwa :
Sri Paduka Maha Raja Dewo Budo, inggih punika Songhyang Gurunata
(Girinatc) ingkong owit yaso dedamel warna-warni, ingkong kathahkathah
mboten kacario saken, namun kopethik nalika yasa dhuwung wonten Ing Kayangan Kaendran dhapur Lar Ngotap, Posopati, saha dhapur Cundrik;
ginambar ing angka 1, 2, 3; Ingkang damel/ nami Empu Romadi, kala tahun Jawi 142.
Ungkapan dalarn bahasa Jawa tersebut bagi pembaca masa kini tentu sulit
untuk diterima sebagai fakta sejarah. Sebagai referensi dapat diingat
tentang ‘asal-usul’ para tokoh Pandawa dan Korawa yang dimulai dari Nabi Adam, Nabi Sis, �.Bhatara Guru dan seterusnya, yang ditulis dalam Kitab Paramayoga/Pustaka Raja Purwa yang juga merupakan mahakarya pujangga
Ranggawarsita. Selain itu, dalam dunia pewayangan kita juga mengenal
pusaka Pasopati, yakni senjata Arjuna pemberian Bhatara Guru (cocok)
yang berupa sebuah bedhor (panah) yang ber-dapur Wulan Tumanggal (tidak cocok).
Di dalam narasinya, Ki Dalang kadang-kadang menyebutkan (menurut lakonnya) sebagai berikut:
‘dupi den unus curiganira, ponang pamor pusakaning Sang Dipati Ngawangga
pating karetip pindha konang sayuta …’
Yang dimaksud dengan pusaka tersebut adalah sebilah keris dhopur Jalak
yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Jalak. Untuk menambah
‘keotentikan’ ungkapan tersebut, dianggaplah bahwa seolah-olah negeri
Ngawangga itu memang benar benar ada dan terdapat di Pulau Jawa,
persisnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (menurut Raffles, dalam bukunya
: The History of Java). Sampai kini (menurut cerita orang), di dusun
Wangga terdapat mesjid tempat dimana disimpan Kyai Jalak tersebut. Benar tidaknya hal ini, wallahualam bissawab.
Dengan sebagai tambahan, Raffles
juga menentukan tentang ‘negeri-negeri’ yang lain, misaInya :
- Kerajaan Dwarawati (Kresna) di daerah Pati
- Kerajaan Mandura (Baladewa) di Pulau Madura bagian barat
- Kerajaan Mandaraka (Salya) di antara Tegal & Pekalongan
- Banjarjungut (Dursasana) di sekitar Kebumen
- Talkandha (Bisma) di Banjarnegara
- Kahyangan Indrakila (Bhatara Indra) di Jepara
- Kerajaan Pringgandani (Gatotkaca) di seb. Utara Dat.Ting.Dieng
- Kerajaan Indraprastha (Pandhawa) di Dataran Tinggi Dieng.
- dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, dalam menanggapi penentuan ‘lokasi geografis’ kerajaan/
negeri-negeri tersebut hendaknya perlu dipakai suatu kebijaksanaan yang cukup arif, karena kebenaran. historisnya memang cukup menyangsikan.
Di Surakarta, pada waktu ini terdapat keris yang bernama Cundhamani,
yang di dalam dunia pewayangan dikenal sebagai keris pusaka Pandhita Dorna.
Keris dhapur Kalarnisani yang merupakan ‘copy’ atau putran dari keris Kanjeng Kyai Kalamisani, adalah sebuah keris lurus dengan hiasan
kembang-kacang, sogokan muka dan belakang, lambe gajah dua, sraweyan,
greneng dan lain sebagainya. Konon, Kanjeng Kyai Kalamisani yang asli
adalah kepunyaan Raden Sadewa yang kemudian diberikan kepada Raden Gatotkaca.
Arjuna, selain dikenal sebagai pemilik Pasopati, juga mempunyai keris-keris Kyai Pulanggeni dan Kyai Kalanadhah..
Adipati Karna, selain memiliki keris Kyai Jalak, juga mempunyai keris Kyai Kaladete yang sangat terkenal karena ampuhnya, karena meskipun tuannya itu telah gugur, keris pusaka tersebut masih dapat berbicara
menirukan suara tuannya yang mernanggil-manggil Arjuna sebagai lawannya.
Selanjutnya, bagaimana lengkapnya cerita lakon tersebut, pembaca tentunya telah mengetahuinya.
Cakil mempunyai keris dengan luk 9 atau 21, dhapurnya Jalak Ngoceh,
bukan Jalak Ngore. Keris tersebut pada akhirnya justru ‘memakan’ tuannya sendiri.
Ada yang mengatakan bahwa Prabu Yudhistira mempunyai keris dhapur Tilam Upih atau Tilam Sari.
Prabu Kresna memiliki keris dhapur Brojol; sedangkan keris Kyai Kalamunyeng pembicara lupa siapa pemiliknya.
Selain dalam dunia pewayangan, keris lebih-lebih terkenal dalam legenda,
babad atau dongeng-dongeng yang sangat dikenal oleh masyarakat Jawa
Sebagai contoh misalnya :
Keris Kyai Sengkelat (pusaka kerajaan Majapahit)
Keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten (pusaka pusaka kerajaan pada
zaman pemerintahan Dernak-Pajang, yang dibuat pada zaman Majapahit).
Keris Kyai Carubuk, pusaka Sunan Kalijaga (Demak-Pajang)
Keris Kyai Setan Kober, pusaka Haryo Penangsang (Jipang)
Tombak Kyai Baru, milik Ki Ageng Mangir, menantu dan sekaligus juga
musuh bebuyutan Panembahan Senopati (Mataram)
Kyai Plered adalah juga sebuah tombak pusaka yang pernah digunakan oleh Danang Sutawijaya
(P. Senopati) untuk membunuh Haryo Penangsang. dan lain-lainnya.
sumber : fb. Aryo Kartono