Petirtaan Dewi Shri

Patirthãn merupakan salah satu jenis monument (cagar budaya) masa hindu-budha di jawa, selain candi, goa pertapaan dan pundek berundak. Patirthãn berasal dari kata tirthã yang berarti air suci, sedangkan Patirthãn bisa berarti pemandian suci. Patirthãn yang cukup terkenal dan tertua adalah Patirthãn Jolotundo, kaki gunung penanggungan, sisi Mojokerto. Di Jawa timur terdapat kurang lebih 24 Patirthãn termasuk Jolontundo. Namun, disini tidak akan membahas Patirthãn jolotundo melainkan Patirthãn yang diperkiraan pembangunanya sezaman dengan Jolotundo yakni Patirthãn Dewi Sri. Patirthãn ini terletak di Desa Simbatan Wetan, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Magetan. Warga setempat menamakan Patirthãn ini dengan dua nama yakni Sendang Beji dan Pemandian Dewi Sri. Dinamakan Pemandian Dewi Sri karena merujuk adanya arca dewi yang terdapat pada bilik utama Patirthãn tersebut. Berdasarkan laporan ROC tahun 1913, keadaan Patirthãn ini sudah sangat parah dan rusak. Hal ini disebabkan adanya pohon besar yang tumbuh di sebelah utara dan sebalah barat Patirthãn.  Namun, pada saat itu telah ada upaya untuk mengatasi kerusakan berlanjut dengan membangun talud disetiap sisi dinding.

Kondisi Patirthan Dewi Sri sekitar tahun 1937 yang rusak parah dan tampak pohon besar yang merupakan salah satu penyebab kerusakan (sumber foto OV, 1937)

Patirthan Dewi Sri yang sudah selesai dipugar oleh BPCB Jawa Timur

Patirthãn ini berbentuk bujuk sangkar dengan ukuran 11 x 11 meter, tebal tembok 80 cm dan terdiri dari teras, 1 bilik utama dan 2 bilik. Arah hadap pathirthan ini adalah menghadap ke barat ditandai dengan adanya tangga masuk. Yang menarik tangga ini tidak berada ditengah melainkan agak ke utara. Pada bagian teras dapat kita temui 4 buah Jaladwara yang berada di utara dan selatan dinding.  Jaladwara (saluran air) di bagian teras berbentuk arca laki-laki dan perempuan dengan membawa kendi yang seolah-olah air keluar dari kendi. Jaladwara dengan bentuk seperti ini mirip dengan jaladawara yang ada di Candi Belahan. Pada bagian tengah Patirthãn terrdapat bilik utama berukuran 2×2 meter dengan pintu masuk disebelah barat. Pada bilik utama terdapat sebuah arca dewi berfungsi sebagai Jaladwara. Arca tersebut digambarkan berdiri dengan kedua tangan memegang payudara yang mengeluarkan air, bermahkota, dan memiliki prabha dan stela Arca Dewi tersebut yang kemudian disebut Dewi Sri oleh masyarakat. Dalam kepercayaan masyarakat jawa, Dewi Sri merupakan dewi kesuburan dan dihubungkan  dengan pertanian. Berdasarkan pengamatan ilmiah, arca tersebut diidentifikasi sebagai Dewi Laksmi yang merupakan sakti (istri) dewa wisnu. Patirthãn lain dengan konsep dewi laksmi juga dapat kita temui di Candi Belahan, Mojokerto. Arca laksmi diapit 2 buat jaladwara berbentuk Padma, sedangkan pada bagian atas terdapat kala tanpa rahang dengan motif sulur-sulur. Bilik utara dan selatan yang kemungkinan sebagai tempat pemandian terpisah laki-laki dan perempuan. Pada kedua bilik terdapat masing-masing 2 buah jaladawara yang berbentuk makara dengan relief wanita.  Selain itu terdapat pula beberapa bagian Patirthãn yang sudah lepas dari tempat aslinya.  Beberapa bagian tersebut berupa kemuncak miniatur candi dan terdapat hiasan kala. Berbeda dengan Kala di bilik utama, kala pada miniature candi ini mempunyai rahang dan yang unik kedua tanganya berada dibawah dagu seolah-olah tengkurap dengan sepuluh jarinya. Gaya kala ini terdapat pula pada prasasti Anjuk Ladang (Masa Raja Pu Sindok) dari Nganjuk, dan candi Rambut Monte, Blitar.

Bilik Utama Patithan Dewi Sri dengan Arca Laksmi, dua buah Jaladwara dan Kala tanpa rahang (sumber foto Internet)

beberapa Jaladwara pada Patirthan Dewi Sri. Gambar atas Jaladwara pada bilik utara dan selatan dan gambar bawah jaladwara pada teras (sumber foto widodogb)

bentuk kala pada salah satu bagian miniatur candi patirthan dewi sri (sumber foto 2014)

Berdasarkan kesakralanya, Patirthãn dewi sri termasuk dalam Uttama Patirthãn, dimana merupakn bangunan suci mandiri, ditandai dengan adanya arca dewa sebagai tumpuan pemujaan. Patirthãn  Dewi Sri lebih sering terendam air, sehingga banyak yang kecewa bila berkunjung ke sana. Selain sebagai wisata edukasi pada setiap bulan suro, sering diadakan upacara bersih desa di desa ini. Upacara bersih desa merupakan pergeseran fungsi sebenarnya Patirthãn tersebut. Dimana seseorang yang mandi dengan air di Patirthãn baik berendam ataupun membahasi diri dengan air yang memancur niscaya dosa-dosanya akan hilang dan bersih.

Umpak Reksogati, Sogaten

Kelurahan atau Desa Sogaten merupakan sebuah wilayah yang masuk kecamatan Mangunharjo, Kota Madiun. Siapa sangka kelurahan yang terletak sebelah utara kota madiun dan berbatasan dengan desa sidomulyo Kab. Madiun ini memiliki peran penting dalam berdirinya kabupaten Madiun. Desa Sogaten dulu merupakan pusat pemerintahan awal atau cikal bakal Kabupaten Madiun. Tinggalan sejarah berupa umpak-umpak di desa ini di duga kuat sebagai bekas istana kadipaten Purabaya. Awal sejarah kenapa desa sogaten disebut sebagai cikal kabupaten madiun di mulai pada masa Kerajaan Demak.

Pangeran Surya Pati Unus yang merupakan Putra Raden Patah menikahi Putri dari Kerajaan Hindu Ngurawan. Pernikahan ini disebut juga sebagai strategi politik dan budaya sekaligus yang tidak kalah penting islamisasi. Setelah menikah, Pati Unus kemudian mendirikan pemukiman disebarang sungai madiun yang kemudian diberi nama Purabaya. Lokasi pemukiman itu diperkirakan di Sogaten sekarang. Ternyata Pati unus tidak lama di purabaya karena harus mengantikan ayahnya yang telah mangkat. Tahun 1518, Pati Unus menunjuk dan mengirimkan seorang pengawas untuk mengantikan dirinya di purabaya. Pengawas itu bernama Kyai Rekso gati. Tak hanya menjadi pemimpin desa Kyai Resko Gati juga meneruskan upaya proses islamisasi yang sebelumnya dilakukan oleh Pati Unus. Kisah Kyai Reksogati ini kemudian sedikit saya kaitan dengan versi lain mengenai asal-usul nama madiun.

Dalam tinjauan bahasa Kawi, kata “Madiun” berasal dari kata dasar diu berarti raksasa, ma menggambarkan tindakan aktif dan an menggambarkan tempat. Jika digabungkan ma + diu + an berarti tempat raksasa. Raksasa dalam wacana pemikiran abad XV merupakan terminologi yang dikenakan pada pemuja berhala atau pemeluk agama asli. Tokoh Ki Sura merupakan gambaran dari Kyai Reksogati yang merupakan mubaligh  dan raksasa bukan berarti orang jahat dan durhaka tetapi merupakan gambaran penduduk yang masih beragama Hindu yang dianggap masih menyembah berhala atau arca. Dengan demikian penamaan Madiun berkait erat dengan proses Islamisasi daerah Madiun oleh Kesultanan Demak.

Kepemimpinan Kyai Rekso gati sangat berpengaruh dan dihormati sehingga namanya dipakai untuk nama desa sekarang yakni Sogaten. Suksesor Kyai Reksogati adalah Pangeran Timur yang merupakan anak bungsu dari Sultan Trenggono dan juga adik ipar dari Sultan Hadiwijoyo. Dari Pangeran Timur inilah, Purabaya menjadi sebuah kadipaten/kabupaten dengan kepala pemerintahan yang disebut bupati. Pangeran Timur dilantik menjadi Bupati di Purabaya bersamaan dengan dilantiknya Hadiwijoyo (Karebet/Joko Tinggkir) sebagai Sultan Pajang tanggal 18 Juli 1568. Sejak saat itu secara yuridis formal Kabupaten Purabaya menjadi suatu wilayah pemerintahan Kabupaten di bawah Kasultanan Pajang. 18 Juli kemudian diperingati sebagai hari jadi kabupaten Madiun oleh Pemerintahan Kabupaten Madiun.

Umpak-Umpak yang ada di luar Makam Reshogati

Sebagai pusat pemerintahan awal Kabupaten Madiun, di Kelurahan Sogaten juga terdapat tinggalan purbakala yakni berupak umpak-umpak batu. Umpak merupakan alas untuk tiang pondasi yang biasanya dari batu. Umpak-umpak batu berbuat dari andesit dan mayoritas berukuran besar , berbentuk persegi dan ada pula yang heksagon. Kondisi umpak beberapa sudah ada yang sudah rumpil dan pecah. Sebagian besar umpak berada area Pemakaman umum Resho Ganti dan sisanya diluar pemakaman atau perempatan jalan makam.  Jumlah umpak yang berada di area pemakaman berjumlah 14 Buah, sedangkan diluar pemakaman berjumlah 7 buah dengan perincian 1 buah depan pemakaman umum Jl. Srikaton, 3 buah depan Mushola/Masjid Reshoganti, 2 buah di Jalan Sekartejo, 1 buah berada dihalaman rumah Bapak Sulisetyono. 7 umpak yang berada diluar masih berada di satu titik yakni perempatan jalan Pemakaman Umum. Jumlah total 21 buah. Menurut juru kunci makam, jumlah umpak sebenarnya berjumlah sekitar 26-28 buah yang lainya dipendam karena dipergunakan sebagai pondasi bangunan gapura makam. Keberadaan umpak-umpak ini diduga sebagai sebagai bagian dari bangunan pendopo Kadipaten Purabaya. Selain, umpak batu ditempat tersebut juga sempat ditemukan beberapa alat-alat dari tembaga dan pusaka. Perlu diketahui juga setiap bulan sura (bulan jawa) ditempat ini sering diadakan acara bersih desa.

Beberapa umpak yanb berada di dalam Makam Reshogati

Pemerintahan di Sogaten tidak berlangsung lama. Sekitar tahun 1575 karena alasan Sogaten sudah tidak layak lagi dijadikan ibukota, Pangeran Timur memindahkan pusat pemerintahan menuju ke Kuncen.

Sumber Bacaan:

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. 1980. Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun: Pemda Madiun.

Balaikota Madiun

Banyak tinggalan bangunan-bangunan berasitektur eropa yang masih bisa dilihat di Kota Madiun ini. Salah satunya adalah Balai Kota Madiun. Balaikota merupakan pusat pemerintahan Kota Madiun. Di gedung ini para petinggi kota ini seperti walikota, wakil walikota dan sekretaris daerah berkantor dan menjalankan pemerintahan. Kantor Balai Kota Madiun beralamat di Jalan Pahlawan No.37, Kelurahan/Kecamatan Kartoharjo.

Sejarah pembangunan gedung ini diawali setelah Pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan berdirinya Gemeente (Kota) Madiun pada 20 Juni 1918 berdasarkan tahun 1918 Stasblad No. 326. Pemerintahan ini terpisah dari pemerintahan kabupaten dengan kepala pemerintahan yang disebut Burgemeester (walikota). Setelah berdiri jabatan Burgemeester masih dipegang oleh seorang Assistent-Resident yang bernama W.M. Ingenluyff.

20170914_114655
Balai Kota Madiun (Dok. Pribadi tahun 2017)

Sebelum membangun Gemeentehuis/Raadhuis/Balaikota, pemerintahan dan pelayan gemeente madiun saat itu masih dipusatkan di Kantor Asissten Residen (Kini Kantor Koramil). Pihak Gemeenteraad (Dewan Kota) kemudian mulai merencanakan membangun gedung baru. Perencanaan itu diawali pada 10 September 1919 dengan membeli tanah di Schoollaan (sekarang Jalan Sumatra) yang luasnya 4317 M2  dengan harga f(gulden) 7000,-, kemudian tahun berikutnya melakukan peminjaman f 50.000,- untuk pembangunan gedungnya. Rentang waktu tujuh tahun, proyek tersebut belum terlaksana hingga akhirnya Gemeenteraad menjual tanah tersebut. Mereka memiliki alasan jika tanah tersebut lebih cocok dimanfaatkan untuk pembangunan rumah-rumah tinggal. Pihak Gemeenteraad lantas membeli lagi tanah lain yang terletak di Residentslaan (sekarang Jalan Pahlawan) seluas 14120 M2 dengan harga f 31.500Setelah itu, Firma Fermont-Cuypers perusahaan jasa arsitektur yang terkenal membangun beberapa bangunan De Javasche Bank ditunjuk sebagai perancang sekaligus pengawas proyek balai kota. Firma itu sejak sebelum 1910 telah beroperasi di Hindia Belanda. Arsitek yang mendirikannnya adalah Ed. Cuypers, M.J. Hulswit dan A.A. Fermont. Rancangan awal  Fermont-Cuypers tidak seperti sekarang ini. Pada bangunan utama (depan) pintu publik terletak di kanan-kiri, sedangkan pintu utama yang sekarang berada di tengah. Jendela-jendela “kemungkinan” lantai atas diberi semacam balkon (lihat Local Techniek, 1933 : 4-9). Ternyata firma Fermont-Cuypers tidak hanya dikontrak membangun balaikota, disaat bersamaan pula sebuah Gemeente Schouwburg (Gedung pertunjukan Kota) atau sekarang dikenal dengan Bioskop Lawu juga dibangun. Lokasinya juga masih satu jalan dengan Balaikota. Sayangnya, gedung ini sudah dihancurkan dan diganti dengan pusat perbelanjaan.

Gambar Kasaran Balai Kota Madiun Oleh
firma Fermont-Cuypers (lihat Local
Local Techniek, 1933 : 4-9 )

Penantian panjang selama 10 tahun itu terbayarkan pada 30 November 1929. Pada tanggal yang jatuh hari sabtu pagi itu diadakan acara Eerste Steenlegging (peletakan batu pertama). Acara tersebut diawali dengan ritual adat jawa yaitu slametan para pekerja dan dillanjutkan penguburan karbouwenkop (kepala kerbau). Beberapa pejabat se-karesidenan Madiun turut hadir dalam acara tersebut kecuali Resident Madiun Van Den Bos yang berhalangan hadir karena tugas di Batavia sehingga digantikan oleh istrinya. Roeloef Adriaan Schotman sekalu Burgemeester (Walikota) Madiun bersama dengan Nyonya E. L. E. van den Bos (Istri Resident Madiun) diberi kerhormantan untuk meletakan batu pertama sebagai penanda dimulainya pembangunan Balai Kota. Menurut R.A Schotman pembangunan Balai Kota ini diharapkan menjadi tonggak sejarah baru bagi pembangunan Gemeente Madiun (De Indische Courant, 3 Desember 1929).

Proyek ini juga melibatkan perusahaan Marmer terkenal asal Surabaya yakni AI Marmi Italian Soerabaja, serta seniman bernama Mia Lyons atau Mevrouw Cleton dari Yogyakarta. Marmer dari perusahaan asal Surabaya digunakan untuk menghiasi dinding depan balai kota. Sedangkan Mia Lyons bertugas mendekor ruangan dewan yang berada di lantai 2.  Dampak Pembangunan Balai Kota adalah dibangunnya jalan penghubung antara Residentslaan dengan W.M. Ingenluyfflaan (sekarang Jalan Dr. Soetomo). Jalan tersebut kemudian diberi nama Raadhuislaan. Jalan ini sekarang bernama Jalan Perintis Kemerdekaan.

Pada tanggal 1 Agustus 1930 atau sehari sebelum perayaan kelahiran Ratu Suri Emma of Waldeck and Pyrmont, Gedung ini mulai diresmikan dan digunakan. Schotman pun menjadi Burgemeester pertama yang berkantor di Balai Kota.

Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini berubah nama menjadi Madiun Shi Jakusyo yang kurang lebih artinya sama dengan Kantor Balai Kota. Mr. Soesanto Tirtoprodjo yang diangkat menjadi Burgemeester Madiun pada tahun 1941 kemudian ditunjuk oleh Jepang menjadi pejabat Shicho (Walikota) Madiun. Setelah kemerdekaan hingga sekarang fungsi gedung ini tidak berubah.

Bangunan Balaikota Madiun ini menghadap kearah barat. Langgam arsitektur Balai Kota Madiun bercirikan Nieuwe Bouwen yang terinspirasi oleh aliran International Style dan mengadopsi karakter arsitektur lokal sebagai adaptasi terhadap kondisi iklim tropis basah lingkungan setempat (Rizaldi Dkk, 2016). Apabila dilihat melalui satelit Bangunan Balaikota Madiun terdiri empat bangunan, membentuk segi empat dengan ditengahnya terdapat taman. Bangunan utama yang terletak didepan dilengkapi dengan sebuah menara yang tingginya ± 10 meter. Menara tersebut difungsikan sebagai area pengawasan atau pertahanan, mirip dengan ciri arsitektur tipe peralihan pada masa kolonial Belanda di Indonesia.

Dulu menara terdapat sebuah jam dan pada bagian atas terdapat penangkal petir seperti tusuk sate. Jam sekarang diganti dengan logo kota madiun, sedangkan tusuk sate sekarang dihilangkan. Terdapat tiga buah pintu masuk. Dua pintu berada disamping kanan-kiri, sedangkan pintu tengah merupakan pintu utama yang juga akses masuk ke ruang walikota.  Pada saat ini, kondisi bangunan ini cukup terawat dengan beberapa perbaikan pada arsitektur bangunan. Selanjutnya mungkin perlu diupayakan penetapan sebagai cagar budaya Kota Madiun sebagai bentuk pelestarianya.

Sumber
Local Teckniek No. 1 januari 1933. Het Raadhuis te Madioen hlm 4-9.

Rizaldi, Vicky Dkk. 2016. Karakteristik Spasial dan Visual Balai Kota Madiun (Eks Raadhuis te Madioen). E-Journal : Universitas Brawijaya Malang

Kabupaten Muneng

Muneng adalah sebuah desa yang berada di Kecamatan Pilangkenceng, Kabupaten Madiun. Desa ini dilewati oleh Jalan Raya penghubung Ngawi – Caruban (Madiun). Nyaris tidak ada pemandangan mencolok di desa ini kecuali hamparan sawah yang luas. Muneng merupakan desa kecil yang jumlah dusunnya hanya tiga yakni Dusun Muneng I, Muneng II, dan Muneng III. Adapun batas-batas desa ini adalah sebelah utara desa Pulerejo, sebelah barat Kabupaten Ngawi,sebelah timur Desa Pulerejo, dan sebelah selatan, Desa Simo.

Potensi desa muneng yang penulis ketahui hanyalah Jambu Muneng, Budidaya Jangkrik serta Telecenter-nya. Melihat sawah di desa ini yang luas, pekerjaan mayoritas warganya adalah petani sawah. Potensi desa muneng yang mungkin belum banyak orang tahu adalah sejarahnya. Pernahkah kalian mendengar atau membaca tentang adanya Kabupaten Muneng?. Iya… Kabupaten Muneng yang sekarang menjadi sebuah desa. Tentunya banyak yang belum tahu jika kita tidak menelusurinya. Penulis sendiri awalnya baru mengetahui bahwa Muneng pernah menjadi kabupaten dari buku Sejarah Kabupaten Madiun. Muneng sebagai kabupaten juga banyak disinggung dalam buku-buku karya sejarah sejarawan asal Inggris Peter Carey.

Lewat buku-buku tersebut penelusuran ke lapangan pun penulis lakukan pada bulan Agustus 2017 kemarin. Penelusuran bersama Mahasiswa Sejarah IKIP PGRI Madiun, Sunarno, hasilnya masih zonk . Penulis hanya menemukan sebuh punden desa bernama Temenggungan. Punden ini kiranya belum bisa dikaitkan dengan keberadaan Kabupaten Muneng. Penelusuran ke makam-makam pun tak membuahkan hasil. Muneng yang sekarang merupakan sebuah desa kecil. Mungkin penelusuran ke desa tetangga nantinya juga perlu dilakukan.

Sebelum membahasnya terlebih dahulu kita harus tahu mengenai asal-usul dari muneng. Catatan mengenai asal usul nama Muneng penulis ambil dari desakumuneng.blogspot.co.id. Desa Muneng dulu masih berupa hamparan semak belukar yang banyak tumbuh-tumbuhannya, tumbuh-tumbuhan empon-empon yang paling banyak diantara tumbuhan lainnya. Tumbuhan empon-empon tersebut masing-masing punya nama yang berbeda-beda, antara lain : Temu Lawak, Temu Ireng, Temu Glenyeh dan masih banyak lagi lainnya. “e-Neng-e yo munr te Mu“, orang dahulu memberi nama daerah tertentu selalu dengan kenyataa yang ada, “Neng dan Mu“. Lamun-lamun mbesok ono rejane jaman, alas iki kasebut deso MuNeng (seandainya nanti ada kemakmuran jaman, hutan ini disebut desa MuNeng), kata tersebut di ucapkan orang-orang dahulu kala. Pada akhirnya Desa Muneng sekarang ramai dengan segala aktifitas masyarakatnya.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Bukti Muneng dulu merupakan sebuah kabupaten bisa ditemukan dalam sumber-sumber literasi. Dalam buku Sejarah Kabupaten Madiun, ketika Perang Diponegoro meletus tanggal 20 Juli 1825 Kabupaten-kabupaten sekitar Madiun termasuk Kabupaten Muneng ikut berperang dan mendukung Diponegoro. Bupati Muneng saat itu yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin adalah Raden Mas Tumenggung Yudokusumo II. Dalam buku tersebut juga dijelaskan mengenai letak kabupaten muneng yang berada disebalah tenggara Kabupaten Wonokerto atau Tunggul atau Kranggan dengan ibukotanya di Muneng yang sekarang masih terkenal (Margana dkk, 2017 : 101-102. Pemda II Madiun, 1980 : 168-169)

Beberapa buku karya Sejarah Peter Carey memberikan informasi menarik tentang Kabupaten Muneng. Dalam buku Perempuan-perempuan perkasa di Jawa abab XVIII-XIX Karya Peter Carey dan Vincent Houben, membahas tokoh perempuan dari Kabupaten Muneng yakni Raden Ayu Yudokusumo. Ia adalah putri dari Sultan pertama dari Istri resmi ketiga yakni Ratu Wandhan. Ia kemudian dinikahi oleh Bupati Muneng Raden Mas Tumenggung Yudokusumo I. Sebelumnya Bupati ini memerintah Kabupaten Grobogan-Wirosari (1792-1812). Muneng merupakan kabupaten baru yang didirikan pasca-aneksasi Inggris sesuai dengan syarat perjanjian 1 Agustus 1812 (Carey dan Hoadley dalam Carey dan Houben, 2016 : 28). Pasca serangan ke Kesultanan Yogya, Inggris membuat perjanjian atau pakta dengan keraton-keraton dimana salah satunya mengizinkan penggabungan beberapa wilayah-wilayah luas (Kedu, Pacitan, Jipang, Japan, Grobogan dan Provinsi terpencil lainya) (Carey 2017 : 51-52).

Ketika daerahnya (Grobogan-wirosari) terkena aneksasi. Raden Ayu Wirayawan itu menolak untuk meninggalkan kabupatenya tanpa perintah langsung dari sultan Ketiga. Ia gigih mempertahankan tempatnya dari perwira tentara inggris, Letnan George Richard Pemberton (1789-1866).  Setelah ada utusan langsung dari Yogyakarta ia pun terpaksa meninggalkan kabupaten itu dan pindah bersama suaminya ke Muneng. Karena Suami kurang cakap, Urusan kepindahannya Raden Ayu sendiri yang melaksanakan. Dalam Babad Panular atau Babad jatunya Yogyakarta, Raden Ayu Yudokusumo merupakan perempuan yang punya kecerdasan tinggi, kemampuan besar dan siasat jitu selayaknya laki-laki (Kang Tyas Raden Ayu lantip mupugi guneng Priya) (Carey dan Houben, 2016 : 28, Carey , 2017 : 39, 153-154).

Sifat-sifat hebatnya ditunjukkan ketika berada di Kabupaten Muneng. Nyatanya dia adalah seorang wanita yang cerdas dan energik yang mendominasi keluarganya dan mendapatkan reputasi untuk sebagai salah seorang panglima pasukan perempuan Diponegoro yang paling kejam selama Perang Jawa dengan melaksanakan pembantaian komunitas Tionghoa di pasar beras yang penting di Ngawi di Bengawan Solo pada 17 September 1825. Aksinya di Ngawi membuat Raden Ayu Yudokusumo mendapat gelar pejuang yang garang “seorang perempuan cerdas namun sangat menakutkan”. Saat menyerah kepada Belanda pada Oktober 1928, ia bersama anggota lain keluarga besarnya mencukur gundul rambutnya sebagai lambang kesetiaan pada perang sabil melawan Belanda dan orang Jawa yang menjadi sekutunya (Louw dan De Klerck dalam Carey dan Houben, 2016 : 28-29, Carey, 2017 : 40, Catatan 267). Raden Ayu Yudokusumo tidak sendiri. Pejuang wanita lainya dalam perang diponegoro adalah Nyai Ageng Serang.

Sebelumnya sudah dijelaskan mengenai berdirinya kabupaten Muneng yakni pasca serangan inggris ke Kraton Yogya. Penulis memiliki pandangan berbeda dalam hal ini. Kabupaten Muneng kemungkinan sudah lama berdiri sejak terjadinya palihan nagari tahun 1755. Saat itu Mataram dipecah menjadi dua yakni Yogyakarta dan Surakarta. Dua daerah berpengaruh di jawa ini kemudian memiliki wilayah kekuasaan atau istilahnya adalah mancanegara. Kabupaten Muneng termasuk wilayah mancanegara kasultanan Yogyakarta. Menariknya di situs desakumuneng.blogspot.co.id, , Muneng telah ada sejak tahun 1752 sebagai Desa. Lurah pertamanya bernama Bapak Irodongso. Entah dari mana sumbernya namun bisa saja pendapat tersebut bisa benar adanya. Sesuai dengan asal-usul desa ini yang merupakan semak belakur kemudian dibabad menjadi sebuah desa. Hingga akhirnya desa ini menjadi sebuah Kabupaten.

Masih soal Kabupaten Muneng, Pasca Perang Diponegoro Belanda berhasil menguasai Madiun tahun 1830. Pemerintah Kolonial di Madiun kemudian mengeluarkan kebijakan tentang pengurangan jumlah bupati sekaligus kabupaten di wilayah karesidenan Madiun. Salah satu kabupaten yang dihapus itu adalah Kabupaten Muneng. Penghapusan dilakukan secara bertahap hingga tahun 1877 tinggal menyisakan 5 kabupaten yakni Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo dan Pacitan. Sebegai bentuk penghormatan, bupati-bupati yang terkena dampak dari reorganisasi diberi kompensasi oleh Pemerintah Kolonial. Masa selanjutnya, Muneng menjadi sebuah desa yang wilayahnya masuk Onderdistrik (Setara Kecamatan) Pilangkenceng, Distrik (Kawedanan) Caruban (Margana Dkk, 2017).

Muneng sekarang merupakan sebuah desa kecil. Namun siapa sangka dulunya merupakan sebuah kabupaten yang memiliki tokoh hebat. Pejuang Wanita dari Madiun tak hanya Retno Dumillah, masih ada Raden Ayu Yudokusumo dari Muneng yang kini menjadi wilayah Kabupaten Madiun. Tulisan ini belum sempurna namun semoga bermanfaat dan tidak menimbulkan keresahan bagi yang membacanya terutama masyarakat Desa Muneng.

Sumber Rujukan:

Carey, Peter. 2017. Inggris di Jawa 1811-1816. Jakarta : Kompas

_________& Houben, Vincent. 2016. Perempuan-perempuan perkasa di Jawa abad XVIII-XIX. Jakarta : KPG

_________. 2015. Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755–1825. Jakarta : Komunitas Bambu.

__________. 2008. The Power of Prophecy; Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855. Leiden: KITLV Press, 2007

_________. 2014. Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855. Jakarta : Kompas

Margana, Sri, dkk, 2017. Madiun : Sejarah Politik & Tranformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI. Madiun : Pemerintah Kabupaten Madiun bekerja sama dengan Dep. Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. 1980. Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun: Pemda Madiun.

desakumuneng.blogspot.co.id

Isu Makar dalam Pertarungan Residen Sinting vs Bupati Apes

Sebuah drama tentang residen paranoid yang menuduh salah satu bupatinya menyusun plot menjatuhkan kekuasaan kolonial gara-gara gorden.

Reporter: Ivan Aulia Ahsan

tirto.id – Suatu pagi, sesaat setelah bangun tidur, Residen J.J. Donner kaget bukan kepalang. Barang-barang di rumahnya hilang tanpa bekas. Taplak meja, gelas, vas bunga, dan benda-benda lain tidak terlihat lagi di tempatnya. Pada malam 6 Oktober 1899 itu, komplotan maling berhasil menggasak rumah Tuan Residen.

Ada satu benda kesayangannya yang juga ikut lenyap: selembar kain gorden di ruang tempat ia biasa sarapan pagi bersama keluarga. Lenyapnya gorden itulah yang membuat Tuan Residen murka.

Instingnya sebagai birokrat kolonial berpengalaman segera bekerja. Donner, yang saat itu berada di puncak karier sebagai Residen Madiun setelah tiga puluh tahun mengabdi, merasa pencurian itu bukan tindakan kriminal biasa. Ia mencurigai ada motif politik di baliknya, dengan tujuan meruntuhkan wibawa dan mempermalukan pejabat kolonial tertinggi di karesidenan tersebut. Dengan kata lain, pencurian itu adalah subversi (baca: Salah Kaprah Istilah Makar).

Donner dengan cepat memerintahkan Bupati R.M.A. Brotodiningrat, bawahan langsungnya di Kabupaten Madiun, untuk menghadap. Di depan bupati, ia menyatakan bahwa ada upaya menjatuhkan martabat pemerintah kolonial dengan tindakan lancung menggarong rumah seorang residen. Tak cukup hanya itu, ia juga berterus terang menuduh Brotodiningrat sendirilah orang yang patut dicurigai sebagai sumber subversi.

Di titik inilah cekcok antara residen dengan bupati mulai terpantik. Secara tidak langsung, ini juga sebenarnya menjadi simbol pertentangan dan kecurigaan terus-menerus di antara korps Binnenlandsch Bestuur (Pegawai Eropa) dan Inlandsche Bestuur (Pegawai Pribumi).

Kisah Brotodiningrat ini diceritakan kembali oleh sejarawan Ong Hok Ham dalam esai panjangnya yang diterbitkan Yale University Press, The Inscrutable and the Paranoids: An Investigation into the Sources of the Brotodiningrat Affair (1978). Dengan melacak arsip-arsip kolonial akhir abad ke-19, Ong berhasil menemukan suatu fragmen kisah unik yang menggambarkan bahwa kericuhan politik zaman itu bisa saja dipantik dari sesuatu yang remeh-temeh. Mencerminkan betapa paranoidnya kekuasaan kolonial terhadap gerakan politik kaum pribumi.

Selama paling tidak tujuh dekade terakhir, Jawa berada dalam kondisi relatif aman. Perang Jawa (1825-1830) adalah peristiwa terakhir ketika rakyat jelata bersatu dengan para ulama dan bangsawan untuk berperang melawan Belanda.

Memang terjadi banyak pemberontakan petani selama paruh kedua abad ke-19, tapi gerakan-gerakan itu relatif bisa dipadamkan dengan mudah tanpa peperangan. Bagi pemerintah kolonial, Perang Jawa merupakan peristiwa traumatik yang sebisa mungkin dipadamkan sebelum membesar.

Donner mengambil kesimpulan awal — tanpa pembuktian yang kuat — bahwa Brotodiningrat merancang plot untuk mengobarkan Perang Jawa kedua. Jelas ini tuduhan yang luar biasa serius. Tuduhan itu terasa sensasional, bahkan jika dilihat dengan ukuran zaman ini.

Donner menganggap Brotodiningrat tidak hanya memiliki jaringan bawah tanah dengan para jagoan lokal di Madiun, tapi juga berhubungan langsung dengan keturunan pemimpin pemberontakan Diponegoro. Lebih dahsyat lagi, ia dituduh menjalin hubungan dengan jaringan internasional anti-Barat yang hendak mengusir Belanda dari tanah Jawa. Salah satunya dengan Kekhalifahan Ottoman dan gagasan Pan Islamisme.

Seorang bupati di sebuah kabupaten terpencil di pedalaman Jawa mempunyai jaringan internasional sehebat itu. Bayangkan! Sang Residen tampaknya sedang bermain-main dengan khayalannya sendiri.

“Fantasi pejabat kolonial itu (Donner) memang tidak mengenal batas,” tulis Ong Hok Ham.

Beberapa hari kemudian, Donner menulis laporan kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Laporannya panjang dan detail, sampai ratusan halaman, juga ditambahi bumbu-bumbu konspirasi Brotodiningrat sesuai dengan fantasinya. Gubernur Jenderal Willem Rooseboom terkejut dengan laporan panjang itu, sekaligus terkesan dengan “analisis” Donner. Begitu pula Raad van Indie (Dewan Hindia) yang lantas mengusulkan agar dilakukan penyelidikan lebih lanjut.

Brotodiningrat dongkol atas tuduhan semena-mena itu. Ia berinisiatif melakukan penyelidikian sendiri. Selama satu bulan, ia menggerakkan jaringan weri (mata-mata lokal) untuk menginvestigasi siapa yang berani-beraninya mencuri barang di kediaman Tuan Residen dan membuatnya terancam masalah besar. Si maling akhirnya ditemukan dan dibawa ke rumah Residen.

Tapi kecurigaan kadung menutupi akal sehat Donner. Temuan Brotodiningrat tidak dianggap dan malah semakin keras menuduh. Pandangan Donner diperkuat laporan lain dari jaksa wilayah yang menyatakan Brotodiningrat terindikasi kuat berada di belakang aksi kriminal tersebut.

Tepat pada situasi macam ini, intrik-intrik mulai menemukan tempatnya yang paling liar. Donner menyurati Gubernur Jenderal untuk meminta agar Brotodiningrat dan keluarganya dibuang ke luar Jawa agar penyelidikan yang obyektif bisa dilakukan. Ia juga menghasut bupati-bupati lain di Karesidenan Madiun untuk mengucilkan Brotodiningrat.

Sang Bupati, sementara itu, tidak tinggal diam. Ia melawan usulan Donner dengan cara-cara modern yang mungkin tidak pernah dibayangkan para pejabat di Batavia: menyewa pengacara profesional (berdasarkan catatan kolonial, inilah untuk pertamakali seorang pegawai pribumi menggunakan jasa pengacara dalam berperkara dengan pejabat Eropa) dan bekerja sama dengan beberapa wartawan untuk membuat opini publik di surat kabar.

Salah satu wartawan yang mengangkat isu ini dalam surat kabar adalah Tirto Adhi Soerjo. Dalam rubrik “Dreyfusiana” di koran Pemberita Betawi, ia menurunkan serangkaian reportase tentang kasus ini dan menyuarakan ketidakadilan yang dialami Bupati Madiun.

Brotodiningrat secara terang-terangan menuduh Residen Donner telah melakukan fitnah agar dirinya diseret ke pengadilan dan mencemarkan nama baiknya. Bahkan, ia juga mengirim nota pembelaan kepada Ratu dan Parlemen Belanda di Den Haag.

Tapi bagaimana pun juga, privelese pejabat Eropa lebih penting dari suara seorang bupati pribumi. Batavia mengabulkan permintaan Donner. Brotodiningrat dibuang sementara ke Padang pada 1900 lewat mekanisme kekuasaan istimewa (exhorbitante rechten) yang dimiliki Gubernur Jenderal.

Batavia sebenarnya kebakaran jenggot menghadapi drama residen versus bupati ini. Bagaimanapun juga, para pejabat di Batavia harus menghadapi kenyataan bahwa Brotodiningrat Affair telah menjadi bola liar di masyarakat akibat pemberitaan semakin ramai. Hal yang mati-matian dipertahankan Batavia cuma satu: kewibawaan pemerintah kolonial jangan sampai jatuh.

Karena itulah Batavia mengirimkan penasihatnya yang paling mumpuni, Profesor Snouck Hurgronje, untuk melakukan penyelidikan ulang. Snouck kemudian tidak menemukan fakta apapun tentang konspirasi mengobarkan “Perang Jawa kedua” atau mengusir Belanda dari Jawa.

Ia hanya mengusulkan agar Brotodiningrat dipecat dan dilarang tinggal di Madiun. Perseteruannya dengan Residen Donner telah diketahui secara luas oleh publik. Kewibawaan pemerintah terancam. Apalagi jika kelak terbukti bahwa Sang Bupati tidak bersalah.

Menuruti nasehat Profesor Snouck Hurgronje, Batavia memanggil Brotodiningrat pulang dan memecatnya. Bupati apes ini kemudian memilih Yogyakarta sebagai “tempat pembuangan” karena ia masih terhitung memiliki pertalian keluarga dengan Paku Alam. Pemerintah tetap memberikan uang pensiun yang layak dan berjanji bahwa anak-anaknya tidak kehilangan hak dalam suksesi bupati di Karesidenan Madiun.

Nasib Donner? Ia masih diliputi paranoia meski musuhnya telah dipecat dan tetap melontarkan tuduhan-tuduhan yang mengada-ada. Ia juga masih rewel menuntut pemerintah agar menyelidiki ulang komplotan-komplotan jahat di wilayahnya.

Snouck Hurgronje lalu diperintahkan datang lagi ke Madiun pada Desember 1902. Hasil penyelidikannya pun tetap sama. Tapi kali ini, dalam laporannya, Snouck menambahkan: “Residen telah mencapai titik nervous breakdown sehingga lebih baik dipensiunkan atau dipindahkan.”

Maka pada suatu siang bulan Januari 1903, J.J. Donner, Residen Madiun yang telah bekerja tiga dasawarsa lebih untuk Kerajaan Belanda, akhirnya diberhentikan. Ia pensiun sembari berkalung Orde van Oranje-Nassau—lambang pengabdian kepada Sang Ratu—di dadanya. Pemerintah kemudian mengirimnya pulang ke kampung halamannya. Sejak itu, Donner tak pernah kembali.

Mr.Schotman

Sang Walikota Pertama Madiun

R.A. Schotman

Gemeente atau Kota Madiun dibentuk oleh Belanda pada 18 Juni 1918. Akan tetapi saat dibentuk Gemeente Madiun tidak langsung memiliki Burgemeester atau walikota. Sampai dengan tahun 1928, pucuk Pimpinan Gemeente Madiun diduduki oleh Asisten Resident yang bernama W.M. Ingenluuyf kemudian dilanjutkan oleh G.H. De Maand. Keduanya bertindak sebagai Voorzitter van de Gemeenteraad (Ketua Dewan Kota). Gemeente Madiun baru memiliki Burgemeester pada tahun 1928. Roeloef Adrian Schotman adalah seorang mantan Walikota Chirebon ditunjuk kembali oleh Gubernur Jendral Hindia-Belanda untuk mengisi jabatan Walikota pertama Madiun. Ia diangkat menjadi Walikota bersama 12 nama lain yang menduduki jabatan yang sama. 12 Nama itu adalah F. E. Meyer sebagai Walikota Probolinggo, L. van Dijk sebagai Walikota Mojokerto, H. E. Boissevain sebagai Walikota Pasuruan, J.H. Boestra sebagai Walikota Blitar, J. M. Lakeman sebagai Walikota pekalongan, J. M. van Oostrom Soede sebagai Walikota Cirebon,  W. M. Ouwerkerk sebagai Walikota Padang, A.L.A. van Unen sebagai Walikota Salatiga, F. H. van de Wetering sebagai Walikota Menado, D. J. Spanjaard sebagai Walikota Tegal,  ir. E.A. Voorneman sebagai Walikota Magelang, dan L. K. Wennekendonk sebagai Walikota Kediri (De Indische Courant, 30 Oktober 1928). 2 diantara ke 12 nama tersebut J.H. Boestra dan L. van Dijk yang kemudian menjadi walikota kedua dan ketiga Gemeente Madiun.

Pada 19 November 1928 bertempat di Rumah Resident Madiun, R.A. Schotman secara resmi dilantik dan diperkenalan menjadi walikota pertama Gemeente Madiun oleh Residen Madiun H.C. Van Den Bos (De Indische Courant, 21 November 1928). Schotman lahir 30 Januari 1878 di Utrecht, Negeri Belanda dari  pasangan Gerrit Jan Schotman (1850-1879) dan Adriana de Meijer (1846-?) (https://www.genealogieonline.nl). Ia merupakan seseorang yang sangat rajin dan banyak inisiatif. Tingginya daya kreatifitas ini membuat dewan sering “mengeremnya” (Hudiyanto, 2003 : 73).

Pada masa pemerintahannya, proyek pembangunan balai kota yang seharusnya dibangun pada tahun 1919 baru bisa dibangun di tahun 1929. Pembangunanya pun mengalami pemindahan lokasi yaitu dari Schoollan (sekarang Jalan Sumatra) kemudian ke Residentslaan (sekarang Jalan Pahlawan) (Bataviaasch Nieuwsblaad , 12 Agustus 1919 & Local Techniek, 1933 : 4-9). Schotman bersama Nyonya E.L.E Van den Bos (Istri Residen Madiun) diberi kehormatan untuk meletakan batu pertama pembangunan Balai Kota Pada 30 November 1929. Menurut R.A Schotman, pembangunan Balai Kota ini diharapkan menjadi tonggak sejarah baru bagi pembangunan Gemeente Madiun (De Indische Courant, 3 Desember 1929). Ia pun menjadi walikota pertama yang berkantor di Balai Kota. Selain Balaikota, di masa pemerintahanya dibangun pula Gemeente Schouwburg (sekarang ditempati Lawu Plaza), dua Jalan Tembus yang salah satunya diberinama Raadhuislaan karena berada disamping Balai Kota (Raadhuis) serta berbagai infrastruktur lainya, bahkan Arsitek terkenal Ir. Thomas Karsten pun juga dikontrak selama dua tahun 1929-1930 sebagai penasehat tata kota untuk membantu pengembangan dan perluasan Gemeente Madiun (25 Jaren Decentralisatie In Nederlandsche Indie)

Schotman resmi mengundurkan diri sebagai walikota Madiun tahun 1933 dan digantikan oleh J.H. Boerstra yang sebelumnya menjabat sebagai walikota Blitar. Sebelum terjun ke dunia politik ternyata Schotman awalnya adalah seorang pengajar (Onderwijzer). Rentang 1896-1899 ia merupakan pengajar sekolah tempat kelahiranya dan di Brummer. Pada tahun 1900, Schotman datang ke Hindia-Belanda dimana ia kemudian menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah di Batavia. Karier politik di Hindia-Belanda dimulai ketika ia menjadi anggota dewan di Batavia yang kemudian pada tahun 1921 ditunjuk sebagai walikota acting Batavia. Baru pada tahun 1925 ditunjuk menjadi walikota Chirebon. Selepas pensiun menjadi walikota Madiun, Ia kemudian menjadi ketua dari Nederlands Indische Plantersbond. Pada tahun 1941 Dia mengunjungi Amerika Serikat Konferensi Buruh Internasional. Dalam perjalanan kembali ke Jawa, ia sempat terdampar di Pulau Midway dimana saat itu terjadi serangan di Pearl Harbor. Dia melihat banyak serangan udara Jepang dan tiga minggu kemudian berhasil melarikan diri dari pulau dan kembali ke Hawaii (Geneva Daily Times, 3  April  1945). Pada 10 November 1963 Schotman meninggal dunia di New York, Amerika Serikat dalam usia 85 tahun.

Punden Lambang Kuning

(Andrik-kun) Di Desa Nglambangan, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun terdapat sebuah tempat yang di sakralkan dan dijadikan punden oleh masyarakat setempat. Nama tempat tersebut adalah Punden Lambang Kuning. Punden ini dinamakan Punden Lambang Kuning karena di tempat terdapat sebuah makam Nyai Lambang Kuning. Area Punden Lambang Kuning terbagi menjadi 2 halaman. Pintu masuk terdapat disebelah timur, kemudian pada halaman pertama hanya terdapat sebuah pendopo. Pendopo tersebut digunakan untuk keperluan ritual bersih desa dan peristirahatan pengunjung. Gapura berbentuk paduraksa menjadi pintu masuk menuju halaman kedua. Pada halaman kedua ini terdapat kumpulan benda purbakala yang dijadikan satu disebuah rumah kecil. Benda-benda purbakala itu adalah

  1. Sandung/ Miniatur Rumah/Lumbung. Miniatur rumah ini dulu diletakan pada halam ke pertama sebelah kanan gapura pintu masuk halaman kedua, kemudian dipindahkan karena alasan keamanan. Keberadaan miniatur rumah ini tercatat dalam RCO tahun 1906. Fungsi dari miniatur rumah ini dikaitkan dengan Dewi Sri sebagai Dewi Padi dan ada juga yang mengkaitkan dengan kematian, yang menarik sebaran miniature rumah banyak ditemukan di daerah Madiun, Ponorogo dan Magetan
  2. Dua buah umpak persegi
  3. Yoni dengan bagian cerat terpotong
  4. Batu Tungul. Dinamakan Batu Tungul karena batu ini ditengahnya terdapat tonjolan, batu ini mirip seperti batu kenong

Disekitar halaman kedua ini terdapat 3 lumpang batu. Sebelah kiri tempat kumpulan benda purbakala terdapat sebuah pura bali. Kemudian disebelah kiri pura tersebut terdapat sebuah makam yang ditengahnya terdapat sebuah pohon. Makam tersebut dipercaya sebagai Makam Nyai Lambang Kuning. Menurut cerita yang berkembang, Nyai Lambang Kuning masih keturunan atau keluarga dari Kerajaan Kahuripan. Beliau adalah korban dari Calon Arang, sehingga melarikan diri dan babat hutan lalu menjadi desa yang sekarang menjadi Desa Nglambangan. Keberadaan makam ini juga tercatat dalam RCO tahun 1906. Setiap bulan sura selalu diadakan bersih desa di punden ini. Di sini juga terdapat 4 pasang pipisan dan gandik yang kesemuanya tersimpan di almari di belakang makam nyai lambing kuning.

Di desa ini dulu juga terdapat arca yang tersimpan disalah satu rumah warga , akan tetapi arca tersebut sudah hilang. Menurut Sumiono, arca tersebut sering dijadikan ritual untuk meminta-meminta. Laporan Knebel (1906 : 42),  menyebutkan juga bahwa di punden atau di desa ini terdapat sebuah arca yang bernama Retdja peksi Tjangak. Arca tersebut juga digunakan untuk ritual meminta-minta. Apakah arca yang dimaksud Knebel dan Bapak Sumiono itu sama, sulit untuk dibuktikan karena arca tersebut sudah hilang.

Pendapa Kabupaten Madiun

Kabupaten Madiun berdiri sejak tahun 1568. Waktu itu masih bernama Kadipaten Purabaya. Pusat pemerintahan pertama diyakini di Desa Sogaten. Bupati pertama tercatat dengan nama Pangeran Timur yang merupakan Putra Bungsu dari Sultan Trenggono. Dalam perkembanganya, pusat pemerintahan kabupaten Madiun sudah berkali-kali mengalami berpindah tempat. Sebab perpindahan tersebut tidak diketahui selain alasan kosmologis Jawa. Sebagaimana yang telah diketahui, banyak kota kerajaan di Jawa yang selalu berpindah setiap kali pergantian rezim (Hudiyanto, 2003). Adapun daerah-daerah yang pernah dijadikan pusat Pemerintahan Kabupaten Madiun adalah Sogaten (saat masih bernama Kadipaten Purabaya), Kuncen (Wonorejo (saat masih bernama Kadipaten Purabaya), Demangan (Wonosari), Kranggan, Maospati (Magetan), Pangongangan, dan yang baru saja Mejayan (Caruban).

Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan (Dok. Pribadi

Sebagai pusat pemerintahan kemudian dibangunlah sebuah bangunan permanen yang berfungsi sebagai pemerintahan dan tempat tinggal Bupati. Bangunan tersebut dinamai dengan Pendopo Kabupaten. Dari 6 daerah yang pernah dijadikan pusat pemerintahan (tidak termasuk Mejayan) dan dibangun pendopo, hanya 1 pendopo yang masih utuh yakni Pangongangan. Di Desa Sogaten yang tersisa sekarang tinggal umpak-umpak batu. Kranggan menjadi area sawah tapi masih bisa ditemui toponimi yang berhubungan dengan konsep alun-alun jawa seperti sawah alun-alun, puntuk sigit (diduga dari kata Mesigit atau Mesjid). Sedangkan yang lainya sudah hilang dan tidak dapat diketahui secara pasti lokasinya. Pusat pemerintahan di Pangongangan bertahan cukup lama diantara daerah lainnya. Secara administrasi Pendopo yang akan dibahas ini berlokasi di Kelurahan Pangongangan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.

Pintu Masuk Ke Kompleks Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan (Dok. Pribadi)

Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan bernama resmi Pendopo Muda Grha. Putra Bupati Ronggo Prawiridirjo III (menjabat 1795 – 1810), Ronggo Prawirodiningrat (1822 – 1861) merupakan bupati pertama yang menempati Pendopo di Pangongangan. Hal ini dikarenakan Bupati Ronggo II (1784 – 1795) sampai Tumennggung Tirtoprojo (1820 – 1822) masih berkedudukan di Kranggan dan Maospati. Mengenai masa pembangunannya belum diketahui secara pasti. Namun, pembangunannya sudah rencanakan oleh Bupati Ronggo Prawirodirjo I (1755 – 1784). Bupati Wedana Mancanegara Timur yang saat itu berkedudukan di Kranggan berkeinginan membangun pendopo baru. Desa Taman sebenarnya ingin dijadikan pusat kabupaten selanjutnya namun usaha ini mengalami kegagalan karena desa tersebut hanya cocok untuk pesarehan atau pemakaman. Sang Bupati kemudian meminta nasihat para ahli nujum untuk menentukan lokasi yang baru. Dan lokasi yang didapat adalah lokasi pendopo sekarang ini. Sang Bupati kemudian melihat calon lokasi pendopo yang baru yang telah dianjurkan para ahli nujum. Pangongangan atau Pangongakan berasal dari kata Ngongak yang berarti melihat sesuatu. Untuk menentukan lokasi pendopo yang baru ahli nujum menjadikan Makam Nyai Ronje sebagai patokan (Adam, 1940 : 333). Peristiwa tersebut kemudian menjadi asal-usul Desa Pangongangan. Makam Nyai Ronje masih ada hingga sekarang dan merupakan punden desa bagi warga Panggongangan sehingga setiap bulan suro sering diadakan upacara bersih desa. Tokoh ini dipercaya sebagai pembabat tanah Pangongangan ini.

Punden Njai Ronje (Dok. Pribadi)

Pada tahun 1836, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Dominique Jacques de Eerens (1835-1839) sempat berkunjung ke Madiun yang kemudian dijamu oleh Bupati Ronggo Prawiradiningrat di pendopo yang megah. Dari laporan perjalanannya dikatakan, Kabupaten Madiun dibangun dan ditata sesuai dengan selera eropa yaitu sejumlah bangunan terbuat dari batu (TNI, 1859 : 470, Onghokham, 2018 : 133). Itulah sebabnya kenapa arsitektur bangunan Pendopo Kabupeten Madiun di Pangongangan merupakan perpaduan gaya jawa dan eropa. Sentuhan gaya Eropa nampak pada bangunan utamanya dengan pemakaian pilar-pilar yunani layaknya seperti rumah resident. Hal tersebut kemudian berimbas pada bangunan-bangunan yang berada di Kompleks Pendopo Kabupaten.

Kondisi Pendopo Kabupaten Madiun di Pangongangan dari peta Hoofdplaats Madioen 1917 (KITLV) yang telah dimodifkasi dengan keterangan dari denah B.O.W tahun 1926

Tahun 1926 Burgelijke Openbare Werken (B.O.W) (Dinas PU-nya Hindia Belanda) membuat denah keseluruhan kompleks Pendopo Kabupaten Madiun dengan total luas 3900 m2. Denah tersebut dapat dilihat di Buku Madiun : Sejarah Politik & Transformasi Kepemerintahan dari abab XIV hingga awal abab XXI yang disusun Tim Fakultas ilmu Budaya UGM dengan Pemerintah Kabupten Madiun halaman 253-254. Berdasarkan denah terdapat bangunan-bangunan pendukung Pendopo Kabupaten Madiun yang berupa penjara kabupaten, peseban, panggung, kantor persoenel, ruang gamelan, ruang mobil tempat/kandang kuda serta kantor kabupaten (Regentschapskantoor) (lihat peta). Penjara kabupaten berada disebelah timur. Penjara ini diketahui pernah digunakan mengajar bagi murid-murid organisasi Wiloetomo yang merupakan cikal-bakal Vereniging Madioensche Kartinischool (________, 1938 : 16). Paseban berada ditengah-tengah kompleks, tempat ini digunakan sebagai “ruang tunggu” para tamu sebelum menghadap bupati. Panggung berada dekat dengan alun-alun yang berfungsi sebagai tempat bupati untuk memantau atau melihat para prajurit berbaris di alun-alun. Keberadaan Panggung yang kemudian membuat sekolah disebelahnya kemudian lebih dikenal dengan SD Panggung (SDN 01 Pangongangan). Kemudian Kantor Kabupaten atau Regentschapskantoor juga berada dekat dengan alun-alun samping bioskop Apollo (arjuno). 

Pembangunan gedung Regentschapkantor ternyata memilki kisah kelam didalamnya. Kisah kelam itu bukan adanya korban waktu pembangunan melainkan adanya korupsi. Biaya yang dianggarkan pada gedung yang dibangun akhir tahun 1928 ini adalah f 24.200 atau sekitar f 33 per m2 (F= Florin, simbol mata uang belanda, Gulden). Ternyata terjadi pembengkakan anggaran dengan biaya tambahan sebesar f 20.450. Nilai bangunan per meter persegi menjadi sekitar f 46,50. Biaya tambahan dipakai untuk platfon gribik susun dan untuk Jendela model Vlaams (Margana, dkk,2017 : 254).

Saat diadakan proses audit dan pengecekan, diditemukan adanya banyak material yang tidak memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan. Misalnya, kayu-kayu yang tiang dan blandar yang ternyata harganya lebih murah daripada apa yang ditentukan dianggaran. Temuan ini berbuntut proses investigasi atas pengunaan anggaran. R. Soeradji yang merupakan pemborong lapangan proyek tersebut harus menghadapapi tim investagasi dan pemeriksaan intensif. Belum diketahui sejauh apa kasus ini, dan apakah pemborong utama proyek, seorang insinyur belanda juga ikut diperiksa (Margana, dkk,2017 : 254).

Regentschaapkantoor Madioen

Patung pengambaran sosok Retno Ayu Djumillah menjadi pembatas antara halaman depan dan belakang sekaligus patung penyambut para tamu yang ingin masuk ke pendopo. Patung ini dibangun pada tahun 2005 pada masa Bupati Djunaidi Mahendra. Di Pendopo terdapat pula 2 buah meriam kecil merupakan tinggalan bupati-bupati terdahulu. Bagian belakang pendopo berupa teras dan pekarangan yang luas. Pekarangan belakang pendopo layaknya sebuah kebun raya yang terdapat beberapa tumbuhan dan hewan-hewan peliharaan seperti kijang, dan ayam jago. Selain itu juga juga dapat kita temui beberapa tinggalan purbakala yang berupa jaladwara.

Meski telah mengalami beberapa kali renovasi, bentuk asli pendopo Kabupaten masih terjaga. Pada tahun 1918, Bupati R.H Tumenggung Kusnodiningrat melakukan renovasi bagian dinding dan tiangnya. Semula dindingnya berupa kayu di ganti dengan tembok. Satu tiang diantaranya digunakan sebagai tetenger yang didalamnya disimpan sebuah tombak pusaka. Bupati Drs. H. Bambang Koesbandono (1983-1988) membangun prasasti nama-nama bupati dari masa-masa. Kawasan pendopo pun diperindah dengan pagar dan beberapa pot tanaman hias serta perbaikan saluran air. Bupati pengantinya yakni Ir. H.S Kadiono merehap ruangan dalam pendopo serta tanaman dan halaman belakang. Selain itu halaman depan juga diaspal dan di bagian pendoponya sendiri diperindah dengan ornament kayu tiang dan balok pendopo. Kemudian pada masa Bupati Djunaedi Mahendra, SH, MSi, dipasang mahkota di pada bagian atap pendopo. Lantai diganti marmer, halaman depan dibangun gazebo dan termasuk juga pembangunan patung pahlawan perempuan (Suko Widodo  dkk, 2005 : 136-137).

Pendopo Kabupaten Madiun tahun 1930 (Sumber Foto; KITLV)

Adam, Dr. L. 1938. Geschiedkundige Aanteekeningen Omtrent De Residentie Madioen : V. Het Tijdvak Van De Mohammedaansche Rijken Van De Demaksche Overheersching Tot De „Palihan” (± 1518 Tot 1755). Djåwå.

Hudiyanto, Reza. 2002. Pemerintahan Kota Madiun 1918-1941. Tesis Program Studi Sejarah, Fakultas ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Margana, Sri, dkk, 2017. Madiun : Sejarah Politik & Tranformasi Kepemerintahan dari Abad XIV hingga Awal Abad XXI. Madiun : Pemerintah Kabupaten Madiun bekerja sama dengan Dep. Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada.

Onghokham, 2018. Madiun dalam Kemelut Sejarah : Priyayi dan Petani di Karesidenan Madiun Abab XIX. Jakarta : KPG

Suko Widodo, dkk. 2005. Menelusuri Jejak Masa Lalu : Sekilas Sejarah Kabupaten Madiun. Madiun : Pemerintah Kabupaten Madiun bekerja sama dengan Puskakom Surabaya.

Van Hoevel, Dr. W.R. 1859. Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie XXII Deel I. Zat- Bommel : Joh Noman & Zoon

Woning Kapiten China

Sebuah rumah megah nan indah bergaya kolonial yang berada di sebelah selatan alun-alun kota masih kokoh berdiri hingga sekarang. “Woning Kapitein Chinees” bergitulah keterangan yang tertera dalam peta Hoofdplaats Madioen 1917 (lihat peta 1). Woning Kapitein Chinees merupakan tempat tinggal Kapten Cina Madiun. Kapten Cina merupakan jabatan non-militer yang diberikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk memimpin masyarakat tionghoa yang ada di wilayahnya atau bisa  disebut Pecinan.

Peta 1 – Potongan Peta Hoofdplaats Madioen 1917 yang telah dimodifikasi

Sebelum membahas tentang siapakah Kapten Cina Madiun terlebih dahulu sedikit akan menjelaskan tentang Pecinan Madiun?. Lokasi pecinan di Kota Madiun terkonsentrasi di selatan alun-alun. Keberadaan mereka di Madiun sudah ada jauh sebelum kedatangan orang-orang eropa. Mereka kemungkinan hidup membaur dengan penduduk lokal. Setelah Belanda menguasai sebagian nusantara kemudian pada tahun 1782 mengeluarkan undang-undang yang mengatur etnik yang disebut “wijkenstelsel”. Undang-undang ini mengharuskan etnik-etnik yang ada di suatu daerah untuk tinggal didaerah atau wilayah yang telah ditentukan didalam kota. Misalnya orang Tionghoa harus tingal di Pecinan, yang tinggal diluar Pecinan harus pindah kedalam wilayahnya sendiri yang telah ditentukan (Handinoto, 1999 : 24). Tujuanya adalah agar mudah diawasi serta mudah dilindungi. Namun dalam stadsblaad tahun 1835 No. 37 tujuan pemisahan Pecinan adalah untuk menghindari bercampurnya dengan bangsa lain di Jawa (Onghokham, 2017 : 32-33).

Rumah Kapten Cina tahun 2017

Wijkenstelsel inilah yang kemudian melatar belakangi terbentuknya sebuah Pecinan. Untuk memudahkan pengontrolan atas daerah ini pemerintah Belanda menunjuk pemuka-pemuka tionghoa untuk mengepalai daerah ini. Pemimpin ini diberinama Mayor, Kapten dan Letnan atau dengan kata lain opsir Tionghoa (Handinoto, 1999 ; 24). Perlu diketahui Belanda baru bisa menguasai wilayah Madiun pada tahun 1831 atau setelah Perang Diponegoro yang dahsyat. Pada tahun 1835, L. Launij selaku residen pertama Madiun (menjabat 1831-1838) mengangkat seorang tionghoa bernama Tan Ting Kiauw untuk menjadi opsir. Namun jabatanya bukan Kapten melainkan Letnan. Menariknya, Tan Ting Kiauw kemudian naik pangkat menjadi Kapten pada masa Residen Antonij Rutering (1854-1858) (Almanak, 1836 & 1855). Dengan demikian, Tan Ting Kiauw adalah Letnan sekaligus Kapten China Madiun yang pertama.

Lalu siapakah nama Kapiten China Madiun yang sempat menempati rumah yang beralamat di Jalan Kolonel Marhadi, Kota Madiun tersebut?. Rumah tersebut ditempati oleh orang tionghoa yang bermarga Njoo. Leluhur keluarga Njoo di Madiun adalah Njoo Tjwan yang diperkirakan datang ke Pulau Jawa sekitar 1820-an. Njoo Tjwan mempunyai anak bernama Njoo Bing Thwan yang kemudian mulai menetap di Madiun. Njoo Bing Thwan diketahui  dimakamkan Djosenan, namun sayang bongpay Djosenan kini telah rata dengan tanah. Njoo Bing Thwan mempunyai 4 orang anak bernama Njoo Kie Siong, Njoo Kie Sien, Njoo Kie San, dan Njoo Bien Nio. Salah satu putranya yang bernama Njoo Kie Siong merupakan orang tionghoa termana di Madiun. Ia dikenal banyak berjasa dan membantu orang-orang miskin, sehingga sekitar tahun 1910 diberi perhargaan oleh Pemerintah Hindia-Belanda (Haryono, 2017: 129). Bersama Njoo Kie Sien, Njoo Kie Siong juga berjasa dalam pembangunan baru Klenteng Tri Dharma Hwie Ing Kiong di Jalan HOS Cokroaminoto. Perlu diketahui, Klenteng Madiun konon dahulunya berada di tepi barat sungai Madiun. Berkat bantuan dari Residen Madiun, klenteng baru dibangun dilokasi sekarang ini dan pembangunannya memerlukan waktu 10 tahun 1887 hingga 1897.

De Locomotief 15 Maret 1900 Iklan Houthandel Njoo Kie Siong

Njoo Kie Siong memiliki sebuah perusahaan kayu bernama “Houthandel Njoo Kie Siong”. Area hutan di Gemarang, Kedung Dawung, Nampu (Distrik Kanigoro), Pajaran, Jatiketok (Distrik Caruban) serta Banyubiru dan Begal (Distrik Gendingan) diketahui merupakan milik dari Njoo Kie Siong (Almanak, 1907). Meski menjadi orang kaya dan dikenal oleh masyarakat tionghoa Madiun. Njoo Kie Siong tidak diangkat menjadi menjadi opsir tionghoa. Putra Sulungnya bernama Njoo Swie Lian-lah yang kemudian diangkat menjadi opsir tionghoa Madiun (Haryono, 2017: 129).

Njoo Swie Lian lahir pada tahun 1871. Istrinya bernama Swan Nio Ong yang dinikahinya pada tahun 1886. Ia secara secara resmi diangkat menjadi Kapitein der Chineezen Madioen atau Kapten Cina Madiun mengantikan Kapten sebelumnya Sie Sio Djwan pada 22 Juni 1912. Bersamaan dengan itu diangkat pula Liem King Jang sebagai Letnan Cina Madiun (Almanak, 1914). Sama seperti ayahnya, Njoo Swie Lian juga memiliki perusahaan kayu yang bernama “Djatiehouthandel”.

Pada tahun 1907 Pemerintah Hindia-Belanda melalui perusahaan Staatspoor en Tramwegen (sekarang PT Kereta Api Indonesia) membuka jalur kereta api dari Madiun menuju  Ponorogo. Jalur tersebut melewati Pecinan Madiun. Ada yang menarik dari jalur tersebut. Sebelum memasuki Pecinan (dari arah Stasiun Madiun tentunya) terdapat percabangan jalur pendek yang melewati Jalan Alun-alun selatan hingga berhenti di ujung utara Jalan Kutilang (lihat kembali peta 1). Jelas menimbulkan pertanyaan kenapa ada jalur kereta yang melewati depan Rumah Kapten Cina?. Apakah jalur ini sengaja memang diminta oleh pihak keluarga agar mudah berpergian.

Berdasarkan cerita Bapak Saioen (88 Tahun), lingkungan sebelah barat Rumah Kapten Cina yang kini menjadi pertokoan dahulu adalah Balokan. Balokan yang dimaksud adalah tempat penumpukan dan pengolahan kayu atau stapelpaatsen. Dengan demikian, fungsi utama dari jalur pendek tersebut adalah untuk mengangkut kayu-kayu dari hutan kemudian diolah stapelplaatsen milik keluarga Njoo. Lewat jalur ini kayu-kayu yang sudah dalam bentuk balok kemudian diangkut kembali untuk dipasarkan. Pada Jaman Jepang jalur ini sempat dipanjangkan sampai kepada abbatoir atau rumah jagal. Fungsinya bukan untuk mengankut kayu lagi melainkan untuk mengangkuti daging-daging dari rumah potong tersebut.


Potret Kapten Cina Madiun Njoo Swie Lian and Istrinya Ong Swan Nio

Njoo Swie Lian menjabat sebagai opsir hingga akhir hayatnya. Ia meninggal di usia 55 tahun pada 17 Februari 1930 dan dimakamkan di Bongpay Manguharjo (Het Nieuws van Den Dag, 24 Februari 1930). Ada kabar menyebutkan bahwa makam Njoo Swie Lian sudah tergusur oleh proyek tangkis sungai Madiun. Upacara pemakamannya sempat diabadikan dalam bentuk gambar bergerak. Bukti tersebut sampai sekarang menjadi satu-satunya dokumentasi tempo dulu Madiun dalam bentuk video. Setelah Njoo Swie Lian meninggal, Pemerintah Hindia-Belanda di Madiun sepertinya tidak lagi menunjuk orang tionghoa di Madiun untuk menjadi Opsir. Njoo Swie Lian bisa dikatakan sebagai Kapten China Madiun yang terakhir. Istrinya Swan Nio Ong meninggal pada 14 November lima tahun setelah suaminya meninggal (De Indische Courant, 18 November 1935).

Beberapa anak Njoo Swie Lian diketahui sempat menikah dengan sesama tionghoa dari kelas atas. Njoo Hong Siang putra sulungnya menikahi Oei Oen Nio yang merupakan putri dari Raja Gula dan Mayor Semarang Oei Tiong Ham. Perlu digaris bawahi Oei Tiong Ham sempat mendirikan sebuah Pabrik Gula di Madiun bernama PG Rejoagung. Njoo Sien Nio putrinya menikah dengan dengan Lie Djing Tjay yang diketahui sebagai pemilik PG Baron, Nganjuk (Haryono, 2017: 129). Di Pemerintahan, putranya lagi yang bernama Njoo Hong See sempat diangkat menjadi anggota Gemeenteraad Madioen (Dewan Kota Madiun) pada tahun 1928 (De Indische Courant, 29 September 1928).

De Indische Courant, 18 November 1935. Iklan berita duka wafatnya Istri Njoo Swie Lian

Keluarga Njoo meninggalkan sebuah rumah megah yang sampai sekarang masih kokoh berdiri. Masyarakat kota madiun dahulu menyebut rumah ini dengan nama Rumah Chung Hua Chung Hui (CHCH). Ada pula yang menyebutnya dengan nama Rumah Hong Boe (Wawancara Bapak Saioen). Hong Boe juga merupakan anak dari Njoo Swie Lian yang bernama lengkap Njoo Hong Boe. Tambahan informasi bahwa bangunan rumah ini sempat pula dijadikan sebagai sekolah farmasi. Kapan rumah kapten cina madiun ini dibangun masih belum diketahui. Menurut Handinoto, Opsir-opsir Tionghoa dan sebagian pedagang yang menikmati hasil penjualan usaha mereka, menjadi sangat kaya, sehingga menimbulkan golongan elite lokal, yang mampu membangun rumah-rumahnya dengan gaya yang berbeda dengan rumah kuno di daerah Pecinan, warisan leluhurnya. Sedikit mengingatkan kembali bahwa Njoo Kie Siong dan Njoo Swie Lian adalah pengusaha kayu ternama di Karesidenan Madiun. Bisa jadi lewat hasil kerja kerasnya mereka membangun rumah tersebut.

Ahli berpendapat bahwa Rumah Kapten Cina Madiun ini berlanggam Victorian yang tampak lebih cantik dan memberi kesan modern dengan pilar besi. Namun ada pula yang berpendapat bahwa rumah tersebut berlanggam Indische Emipre. Kedua langgam tersebut popular abad ke-19, meski demikian bukan berarti pembangunanya dilakukan pada abad tersebut. Besar kemungkinan Rumah Kapten Cina dibangun awal abad ke-20 dengan dipengaruhi gaya abad ke-19. Hingga tahun 2012 rumah ini masih menjadi milik keluarga Njoo namun setelah itu telah berpindah tangan. Pada tahun 2017, Pemerintah Kota Madiun melalui Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga mengadakan pendaftaran bangunan-bangunan bersejarah di Kota Madiun yang nantinya akan ditetapkan menjadi cagar budaya. Ada 21 (dua puluh satu)obyek yang didaftarkan dan salah satunya adalah Rumah Kapten China. Diharapkan selanjutnya Rumah Kapten Cina ini bisa menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di Kota Madiun.


Kunjungan Komunitas Historia van Maadioen di Rumah Kapten Cina Madiun 30 Juni 2019

Haryono, Steve. 2017. Perkawinan Strategis : Hubungan Keluarga Antara Opsir-Opsir Tionghoa dan Cabang Atas di Jawa Pada Abab 19-20. Jakarta

Het Nieuws van Den Dag, 24 Februari 1930, (Iklan berita duka)

Onghokham, 2017. Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa. Depok : Komunitas Bambu

Regering Alamanak Voor Nederlandsch-Indie 1836, 1855, 1907 dan 1914.

Sejarah Klenteng Tridharma Hwie Ing Kiong

Wawancara Bapak Saioen, 88 tahun, Kelurahan Pangongangan, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun

www.genie.com/njooswielian

Batu Prasasti dari Madiun


Isidore van Kinsbergen diambil dari KITLV

RDM Veerbek dalam Verhandelingen Oudhen van Java (1891: 211) menyebut batu tersebut dengan nama Het steentje met jaartal 1391 Çaka atau batu berangka tahun 1391 Çaka (1469 Masehi). Batu ini berasal dari Madiun namun belum diketahui lokasi penemuannya. Batu tersebut sempat dibawa ke Kediri oleh Residen Van de Pol dan diletakan dihalaman rumah residen. Berdasarkan regeerings almanak, Van de Pol menjabat residen Kediri mulai dari tahun 1857-1862. Bisa jadi tahun penemuanya sekitar rentang tahun tersebut dan kemudian dibawa ke Kediri. J. Knebel dalam ROC (1906: 31), memberitakan bahwa batu tersebut sempat berada di rumah Controleur (Kontrolir) Madiun bersama dengan arca yang berangka tahun 1308 Çaka (1230 Masehi) sebelum akhirnya dipindah ke Museum Weltevreden atau sekarang Museum Nasional Jakarta. Di Museum Nasional teregistrasi dengan nomor D. 60.

Batu ini berbentuk seperti batu tugu dengan bagian atas lancip (kurawal). Ukuran tingginya ± 50 cm. Ada kemungkinan fungsi dari batu ini adalah tugu batas desa/wilayah. Pada bagian sisi lebar (depan-belakang) terdapat hiasan kotak persegi panjang yang diukir ditengah secara vertical dan diatasnya terdapat ukiran berbentuk seperti mahkota. Bagian bawah terdapat hiasan lingkaran, segitiga, dan persegi yang bentuknya tidak beraturan. Di Kelurahan Wungu (Kecamatan Wungu, Madiun), tepatnya tengah-tengah dipemukiman penduduk juga terdapat sebuah batu tugu. Batu tugu ini ukuranya lebih besar daripada batu tugu D. 60.

Angka tahun 1391 Çaka terukir di salah satu sisi tebal (kanan/kiri). Yang menarik penulisan aksara angka-angkanya terlihat miring. Angka tahun terdekat yang masih satu area (Keresidenan Madiun) adalah Inskripsi Sine (Ngawi) yang berangka tahun 1381 Çaka (1459 Masehi) (sekarang juga di Museum Nasional Jakarta). Namun penulisan aksaranya lebih cenderung satu tipe dengan akasara (candi) sukuh (Hopermans dalam TBG, 1875: 161 ). Berdasarkan Holle (1882: 48), penulisan angka tahun di batu tugu tersebut mirip dengan angka tahun 1259 Çaka (1337 Masehi) di acra dwarapala Candi Induk, Kompleks Candi Penataran, Blitar . Tahun 1391 Çaka masih merupakan masa Kerajaan Majapahit dibawah pimpinan Raja Girindrawarddhana.


Dokumentasi Pribadi 2015

J. Knebel. Beschrijving der Hindoe-oudheden in de afdeeling Awi, Patjitan en Panaraga der Residentie Madioen. Dalam RCO 1905-6.

R. D. M. Verbeek.. Oudheden van Java. Dalam VBG 1891

K.F. Holle. 1882. Tabel van oud- en nieuw-Indische alphabetten: Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie.

Hopermans, H. Het Hindoe Rijk van Doho. Dalam jurnal TBG. Deel XXI, 1875